Senin, 29 November 2010

Danau-danau di Bumi Memanas

Danau-danau terbesar di Bumi mengalami pemanasan dalam kurun 25 tahun terakhir. Hal tersebut diumumkan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA, Selasa (23/11/2010).

Pemanasan yang terjadi pada danau-danau tersebut diketahui setelah peneliti Philipp Schneider dan Simon Hook dari Laboratorium Propulsi Jet NASA di Pasadena, California, melakukan observasi terhadap 167 danau di Bumi dengan menggunakan data satelit.

"Para peneliti melaporkan bahwa rata-rata tingkat pemanasan adalah 0,81 derajat Fahrenheit (0,45 derajat celsius) per dekade. Beberapa danau bahkan memanas hingga 1,8 derajat Fahrenheit (1 derajat celsius) per dekade," kata NASA dalam pernyataannya.

Para peneliti menemukan bahwa area yang mengalami peningkatan paling besar adalah wilayah utara Eropa. Sementara itu, tren pemanasan sedikit menurun di wilayah selatan Eropa.

Wilayah barat daya Amerika Serikat mengalami tren pemanasan yang sedikit lebih besar daripada wilayah Great Lakes. Sementara itu, wilayah tropis, khatulistiwa, dan belahan bumi selatan mengalami tingkat pemanasan yang lebih kecil.

Danau Ladoga di Rusia dan Danau Tahoe di Amerika Serikat mengalami peningkatan suhu yang paling besar. Danau Tahoe mengalami peningkatan sebesar 1,7 derajat celsius sejak tahun 1985. Adapun Danu Ladoga mengalami peningkatan sebesar 2,2 derajat celsius.

"Analisis kami menunjukkan data baru dan independen untuk mengetahui dampak perubahan iklim pada daratan di Bumi," kata Schneider.

Menanggapi peningkatan suhu yang terjadi di danau, Hook mengatakan, "Kami terkejut mengetahui bahwa beberapa danau menunjukkan peningkatan suhu yang melebihi peningkatan suhu udara."

Schneider mengungkapkan, perubahan yang terjadi pada danau tersebut bisa berdampak pada kelangsungan ekosistem danau. Anggota ekosistem tersebut dikatakan bisa terpengaruh oleh perubahan suhu yang sangat kecil.

Hasil penelitian Schneider dan Hook dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters yang terbit minggu ini. Dalam meneliti, para peneliti memilih danau yang berukuran paling sedikit 500 kilometer persegi dan jauh dari garis pantai.

Efek Letusan Toba Tak Seburuk Dugaan

Danau Toba adalah kaldera yang terbentuk akibat letusan raksasa 74.000 tahun lalu.

Letusan raksasa Gunung Toba yang terjadi 74.000 tahun lalu memicu perdebatan di kalangan ilmuwan. Perdebatan terutama berkisar tentang efek dari letusan gunung tersebut.

Studi terdahulu tentang Gunung Toba menyebutkan bahwa letusan 74.000 tahun yang lalu itu menyebabkan penggelapan langit dan menurunkan suhu bumi sebesar 10 derajat celsius selama setengah dekade. Antropolog pun mengatakan, letusan tersebut juga mempengaruhi proses evolusi manusia, menyebabkan fenomena yang disebut genetic bottleneck, suatu kondisi ketika populasi spesies tertentu terbunuh atau terhambat dalam bereproduksi.

Namun, studi yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan sesudahnya menyebutkan bahwa efek letusan Toba tak seburuk yang diduga. Berdasarkan hasil penelitian vulkanolog Stephen Self Open University di Milton Keynes, Inggris, dan pakar paleobiologi Michael Rampino dari New York University, AS, misalnya, penurunan suhu bumi hanya antara 3 dan 5 derajat celsius.

Penelitian antropologis oleh Michael Petraglia dari University of Oxford Inggris juga menyebutkan hasil yang kontroversial. Hasil dari penelitian yang didasarkan pada kondisi salah satu situs arkeologis di India itu menyebutkan bahwa manusia-manusia yang tinggal di dekat Gunung Toba justru mampu selamat dan bertahan hidup dengan lebih mudah.

Baru-baru ini, seorang ahli pembuat model iklim dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman, Claudia Timmreck, melakukan sebuah penelitian untuk melihat lagi efek dari letusan Toba. Ia membuat sebuah model iklim yang dikatakan menyerupai kondisi iklim setelah letusan Toba pada masa itu. Penelitian berfokus pada partikel sulfat aerosol yang terbentuk dari gas sulfur dioksida, partikel yang menyebabkan pemantulan sinar matahari sehingga menyebabkan pendinginan temperatur Bumi.

Berdasarkan data hasil penelitian, diketahui bahwa Gunung Toba mengeluarkan 850 juta metrik ton sulfur dioksida ke atmosfer. Penelitian juga menghasilkan kesimpulan bahwa efek letusan Gunung Toba tidak seburuk yang diduga selama ini. Penurunan suhu Bumi, misalnya, hanya antara 3 dan 5 derajat celsius secara global. Perubahan temperatur secara ekstrem hanya terjadi di Afrika dan India selama dua tahun saja, dengan kondisi temperatur berkurang hingga 10 derajat celsius pada tahun pertama dan 5 derajat celsius pada tahun kedua.

Hasil penelitian yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters edisi terbaru November tersebut juga menunjukkan bahwa akumulasi partikel sulfur di udara juga akan lenyap dalam beberapa tahun saja. F juga mengatakan, letusan tidak sampai menghabisi populasi flora dan fauna yang ada. Namun, peristiwa itu diakui membuat banyak proses kehidupan menjadi sulit.

Menanggapi hasil penelitian tersebut, Petraglia setuju bahwa efek letusan Toba memang buruk. Namun, dampaknya pada manusia tidaklah sebegitu serius. "Populasi (manusia) selamat, tapi menghadapi kondisi lingkungan yang buruk selama beberapa tahun," katanya. Ia juga mengatakan, perlu dilakukan juga observasi lapangan sebagai tahap lanjut dari penelitian tersebut.

Sementara itu, Stanley Ambrose dari University of Illinois yang setuju dengan terjadinya fenomena genetic bottleneck mengatakan bahwa kajian Timmreck memiliki kelemahan. Salah satunya karena peneliti memulai riset dengan kondisi iklim modern, bukan menyimulasikan kondisi iklim 74.000 tahun yang lalu.

Pakar Bioenergi Bentuk Ikatan Ahli

Ajang 7th Biomass Asia Workshop dimanfaatkan oleh beberapa pakar bioenergi untuk membentuk Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia. Organisasi tersebut beranggotakan para insinyur, ilmuwan dan teknolog yang berminat dalam pengembangan bioenergi.
"Tujuannya adalah mempersatukan ilmuwan dari berbagai bidang. Saat ini kan masih terpecah pada bidangnya masing-masing, nah kita ingin kumpulkan," ungkap Tatang Hermas Soerawidjaja, President IKABI.
Saat ini terkumpul 26 ilmuwan yang tergabung dalam organisasi tersebut. Dalam kesempatam pembentukannya, Tatang membacakan isi deklarasi pembentukan. Deklarasi tersebut memuat visi IKABI, yaitu menjadi panutan dalam pengembangan bionenergi di Indonesia, dan dikenal di dunia internasional.
Deklarasi juga memuat visi IKABI, yaitu membina dan menumbuhkan profesi bioenergi, penerapan teknologi bioenergi dan membantu pertumbuhan industri bioenergi di Indonesia.
Pembentukan badan yang bisa merangsang aplikasi bioenergi di Indonesia ini menurut Tatang sangat penting. "Indonesia memiliki biomassa yang sangat besar. Kalau kita tidak kelola, itu akan diimpor negara lain. Nah, itu bahaya. Kalau kita bisa kembangkan, kita ekspor hasil pengolahannya, bukan bahan mentahnya" urai Tatang.
Tatang mengungkapkan, agenda IKABI kini adalah penyusunan AD dan ART kelembagaan, ditargetkan harus selesai sebelum Januari 2011. Setelah itu, IKABI akan merencanakan menggelar kongres pertama yang direncanakan diadakan sebelum Juni 2011.
"Untuk setahun dua tahun mendatang, kita akan menguapayakan dahulu bioenergi dari biomassa bisa digunakan. Nah, ini soal kebijakan pemerintah," jelas Tatang.
Menurutnya, riset saja tak akan bisa diaplikasikan tanpa kebijakan yang mendukung.

Eniya, Penerima Habibie Award Termuda

Di antara 4 orang penerima Habibie Award 2010, salah satunya adalah Dr-Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia merupakan penerima Habibie Award termuda.
Karya perempuan kelahiran 14 Juni 1974 tersebut berkisar pada lingkup elektrokimia, suatu cabang ilmu kimia yang berkaitan dengan potensi listrik dan energi. Penelitiannya adalah tentang sel bahan bakar berbasis hidrogen yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru yang ramah lingkungan.
Salah satu karya yang mengawali kiprahnya di bidang sel bahan bakar adalah penemuan katalis baru untuk sel bahan bakar. Penemuan tersebut menurutnya adalah sebuah inovasi yang ditemukan secara kebetulan.
"Saya kan kalau sedang eksperimen suka saya tinggal waktu makan siang. Saya pikir kan tidak masalah. Nah, waktu itu ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda, ternyata perbedaan malah jadi inovasi," terang Eniya. Polimer yang terbentuk menjadi terdiri dari 10 penyusun, padahal harusnya ada 2 penyusun.
Dari hasil karya yang kebetulan tersebut, perempuan yang menyelesaikan gelar doktor dari Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis dan Sel Bahan Bakar Waseda University ini meraih beragam penghargaan, termasuk Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.
Karya terbarunya adalah ThamriON, sebuah membran sel bahan bakar temuannya yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. "Prinsipnya, ThamriON tersebut adalah membran sel bahan bakar yang terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, maka plastik bisa menghantarkan listrik," ungkapnya.
Nama ThamriON sendiri punya sejarah tersendiri. "Saya kan bekerja di Jalan MH Thamrin Jakarta jadi nama itu saya ambil untuk nama karya saya. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa jadi menghasilkan ion," terangnya sambil tertawa mengenang penamaan hasil karyanya.
Teknologi sel bahan bakar dan bahan pendukung lain hasil risetnya di kembangkan 80 persen dari material lokal, sehingga biayanya lebih murah. Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar yang tersebut telah diterapkan untuk menyalakan perangkat elektronik dan sepeda motor dengan kapasitas 500 Watt.
Untuk mengembangkan proses produksi dan penyimpanan bahan bakar, Eniya bekerja sama dengan berbagai pihak. "Ada Teknik Kimia UGM, Pusat Teknologi Bioindustri, industri polimer dan baterai," ungkap perempuan yang kini menjadi Kepala Perekayasaan Sel Bahan Bakar di BPPT.
Eniya adalah putri pertama dari pasangan Hariyono (alm) dan Sri Ningsih, berasal dari kota Magelang, Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia teknologi dan lingkungan sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Magelang.
"Sejak saya SMA, saya sudah tertarik pada hal-hal yang berbau sains dan ramah lingkungan. Waktu itu, kalau mengarang, saya selalu menulis tema-tema teknologi dan isu ramah lingkungan," ujarnya yang sebenarnya lebih menyukai ilmu fisika daripada kimia.
Setelah lulus SMA, ia beruntung dapat memperoleh beasiswa lewat program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-1 ke Waseda University.
Pendidikan strata dua dan tiga ia lanjutkan dengan beasiswa dari lembaga lain. Total masa pendidikan yang ia butuhkan untuk mencapai gelar doktor adalah 10 tahun, berawal dari tahun 1993 hingga tahun 2003.
Salah satu ambisi terbesarnya adalah mewujudkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dari bahan hidrogen. "Bahan hidrogen ini sangat berpotensi, bisa diproduksi dari berbagai macam sumber, termasuk biomassa," terangnya. Ambisi tersebut diperoleh setelah melihat pengembangan kota Fukuoka, Jepang yang mengaplikasikan hidrogen sebagai sumber energi.
Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya. "Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni," jelas Eniya.
Ide Eniya dalam pemakaian hidrogen sebagai sumber bahan bakar juga dipresentasikan dalam 7th Biomass Asia Workshop yang berlangsung di gedung BPPT.

Hello World

Hello World, this is my first post... ;)